Jakarta | Indonesia Berkibar News - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berupaya menjaga agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai aturan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang. Oleh sebab itu, pemantauan dan evaluasi secara berkala melalui Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR) terus dijalankan secara berkelanjutan. Pemantauan ini dilakukan di penjuru Indonesia, termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan, dan Karimun.
Berdasarkan hasil audit pada kawasan tersebut, Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang pada Ditjen PPTR, Ariodillah Virgantara mengungkapkan, ditemukan ketidaksesuaian Rencana Tata Ruang dengan implementasi di lapangan. Menurutnya, dari hasil audit yang seharusnya kawasan tersebut merupakan kawasan hutan, saat ini tidak menjadi hutan lagi. Kawasan yang dimaksud ialah Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai.
"Setelah ditelusuri melalui citra satelit tahun 2020, 2021, dan 2022, terdapat gerakan di mana tutupan yang masih ada pada tahun 2017, mulai dibongkar. Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan kaveling-kaveling yang dijual dengan harga murah,” ungkap Ariodillah Virgantara di Jakarta, pada Senin (22/05/2023).
Setelah proses audit, Ariodillah Virgantara mengatakan, Kementerian ATR/BPN telah memasang plang peringatan di Kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai. Pada plang peringatan itu pun telah tertulis ancaman pidana berdasarkan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidanakan dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp2,5 miliar.
“Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang telah dua kali memasang plang peringatan yang melarang pembangunan di daerah hutan lindung. Plang pertama, dibangun tahun 2020 dan tidak lama sudah dibongkar oleh oknum yang tidak dikenal. Kemudian, kami memasang kembali plang peringatan pada tahun 2022 yang menyatakan kawasan hutan tidak diperkenankan untuk dilakukan pembangunan,” jelas Ariodillah Virgantara.
Peringatan tersebut dihiraukan dan aktivitas pembangunan tetap berjalan hingga sejumlah rumah telah terbangun. Berdasarkan fakta yang ditemukan, Ariodillah Virgantara menegaskan Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya, Budi Sudarmawan terbukti telah melakukan tindakan ilegal dan melanggar UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 69. “Ditjen PPTR telah menemukan tersangka dan berkas perkaranya telah lengkap atau P21. Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan sidang dua minggu lagi,” tegasnya.
Kasus hutan lindung yang diperjualbelikan ini tidak hanya merugikan negara, namun juga merugikan masyarakat. Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang menyatakan, kurang lebih sudah ada 60 orang yang dirugikan. “Jadi, tersangka menjual kaveling dengan sangat murah. Satu kaveling itu dengan perkiraan luasan sebesar 50–60 meter persegi dengan harga antara Rp10–20 juta. Tersangka ini membuat masterplan palsu yang dikarang sendiri dan dibuat sendiri tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam,” terangnya.
Saat ini, Kementerian ATR/BPN sedang mencari solusi agar nasib masyarakat pembeli kaveling tersebut dapat tertangani dengan baik di tengah langkah pemulihan fungsi ruang kembali menjadi hutan. “Rencananya, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) untuk menampung pembeli kaveling yang dirugikan,” ujar Ariodillah Virgantara.
Lebih lanjut, ia mengingatkan kepada masyarakat yang hendak membeli di lahan perumahan untuk jeli memeriksa sertipikat. “Di dalam sertipikat terdapat unsur 3R (Right, Restriction, Responsibility, red). Rights merupakan hak yang diberikan oleh negara dan terdapat property right dan development right. Kemudian restriction, batasan yang harus diikuti, dan responsibility, tanggung jawab pemilik tanah,” pungkas Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang. (Kementerian ATRBPN/amir torong)
Posting Komentar