Jakarta | Indonesia Berkibar News -BPOM berkolaborasi dengan World Health Organization (WHO) menyelenggarakan web seminar (webinar) bertajuk “Pharmacovigilance Training: Improving Pharmacovigilance Officer Competency” pada Rabu (14/06/2023).
Pelatihan ini diikuti oleh sedikitnya 105 peserta secara offline dan online yang berasal dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dari seluruh Indonesia.
Mewakili Kepala BPOM, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif/Deputi I BPOM, Togi Junice Hutadjulu hadir langsung membuka kegiatan ini.
Pelatihan akan berlangsung selama tiga hari ke depan dengan menghadirkan narasumber dari WHO, Medical Dictionary for Regulatory Activities (MeDDRA); dan Therapeutic Goods Administration (TGA). Turut hadir pada kegiatan tersebut, Adrien Inoubli dan Nilima A. Kshirsagar dari WHO; Petra Bismire dari TGA; dan Nicole Fornarotto dari MeDDRA.
Pelatihan Farmakovigilans WHO ini merupakan bagian dari Program Farmakovigilans 2023 mengenai technical assistance, terutama untuk meningkatkan kapabilitas jajaran BPOM yang menangani farmakovigilans.
Peserta akan mempelajari berbagai materi, antara lain yang terkait dengan farmakovigilans, manajemen risiko, manajemen komunikasi, asesmen risiko manfaat, dan asesmen kausalitas terhadap laporan.
Dalam sambutannya, Togi Junice Hutadjulu menyatakan bahwa BPOM menyambut baik kegiatan ini dilaksanakan karena sangat diperlukan dalam memperkuat sistem farmakovigilans di Indonesia.
“Kegiatan ini diselenggarakan berdasarkan Perjanjian Hibah antara BPOM dan WHO dalam bentuk WHO Joint Work Plan Biennium 2022–2023. Kesepakatan tersebut mendasari implementasi Program Peningkatan Akses Obat dan Vaksin Esensial di Indonesia, termasuk dalam bidang farmakovigilans,” ujarnya.
Togi menekankan pentingnya data keamanan pasca-pemasaran untuk mengidentifikasi dan mencegah risiko serius dari penggunaan obat dan vaksin guna memastikan keselamatan pasien.
Berkaca dari masa awal pandemi COVID-19, ketiadaan vaksin dan obat untuk pengobatan COVID-19
mengakibatkan penggunaan obat yang sebelumnya disetujui untuk indikasi lain ikut digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19.
Contohnya adalah hidroksiklorokuin untuk penyakit malaria, ivermectinuntuk penyakit yang disebabkan parasit, dan azitromisinuntuk infeksi bakteri.
Oleh karena itu, pemantauan keamanan obat dalam konteks ini sangat penting untuk mengidentifikasi risiko yang terkait dengan penggunaan obat off-label (penggunaan obat tidak sesuai dengan informasi produk yang disetujui).
Kontaminasi cemaran kimia yang berisiko terhadap kesehatan juga merupakan salah satu aspek keamanan obat yang menjadi perhatian bersama, seperti yang terjadi dalam kejadian Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak.
“Ini juga perlu perhatian kita bersama untuk melakukan penguatan sistem jaminan keamanan dan mutu obat di Indonesia, termasuk sistem farmakovigilans yang efektif untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang,” ungkap Togi.
Selain itu, Togi juga menyoroti masih rendahnya tingkat pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)/Efek Samping Obat (ESO) di Indonesia.
Padahal pelaporan KTD/ESO menjadi indikator penting dalam pelaksanaan pemantauan keamanan obat di suatu negara.
Untuk mencegah dampak risiko keamanan yang lebih luas, kesadaran pentingnya pelaporan KTD/ESO harus terus dibangun.
“Dalam membangun dan memperkuat sistem farmakovigilans di Indonesia, BPOM mengambil inisiatif dengan mengembangkan pusat farmakovigilans regional di seluruh UPT BPOM, focal point farmakovigilans di dinas kesehatan tingkat provinsi dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta membentuk tim koordinasi farmakovigilans antara UPT BPOM dengan akademisi atau expert untuk mengevaluasi laporan farmakovigilans,” papar Togi lagi.
Setali tiga uang dengan Togi, Adrien Inoubli selaku Regional Advisor South East Asia RegionalOfficer/WHO SEARO menyatakan bahwa pentingnya memiliki sistem farmakovigilans yang baik.
“Sistem farmakovigilans yang baik dapat melindungi kesehatan masyarakat dan memberi urgensi yang tinggi terhadap wujud manajemen mitigasi risiko, seperti timbulnya ketidakpercayaan kepada pemerintah dan para ahli, serta ekspektasi yang tinggi dari publik,” kata Adrien.
Nicole Fornarotto dari MedDRA Maintenance and Support Services Organization turut memperkenalkan Medical Dictionary for Regulatory Activities (MedDRA). MedDRA merupakan standar terminologi dalam medis yang akurat digunakan dalam kegiatan registrasi, dokumentasi, dan monitoring keamanan produk obat dalam siklus pengembangan, mulai dari uji klinis hingga pengawasan pasca-pemasaran (post-market surveillance).
MedDRA dikembangkan oleh International Council for Harmonisation (ICH) untuk menyatukan otoritas regulatori dan industri farmasi dalam mendiskusikan aspek sains dan teknis dalam registrasi suatu obat. Pada kesempatan tersebut, Nicole juga melakukan demonstrasi dalam menggunakan MedDRA.
BPOM berharap agar para peserta dapat secara aktif berpartisipasi dalam pelatihan yang dikemas dengan bentuk kuliah, metode interaktif, dan diskusi grup.
Diharapkan pula agar dari pelatihan ini, semua peserta mendapatkan insight dan pengetahuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan farmakovigilans di Indonesia dalam bentuk rangka pengawasan keamanan obat untuk memastikan keselamatan pasien.(amir torong)
Posting Komentar